
SITU LENGKONG – Danau Situ Lengkong dipercaya airnya berasal dari mata air Zamzam di Arab Saudi yang dibawa oleh Sanghyang Borosngora pada abad ketujuh. Peziarah yang datang ke Situ Lengkong, membawa air dari danau ini sebagai buah tangan.
Selain berwudhu di air danaunya, umat muslim juga berziarah ke makam Prabu Hariang Kancana yang dimakamkan di Nusa Gede, sebuah pulau kecil di tengah Danau Situ Lengkong serta mengunjungi bumi alit, sebuah situs museum tempat pusaka Panjalu berada.

Ia memiliki seorang anak yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi memiliki enam orang cucu, satu di antaranya bernama Prabu Sanghyang Borosngora atau biasa disebut Sanghyang Jampang Manggung. Keenam cucu Prabu Siliwangi memiliki ajaran yang penuh nilai keluhuran, yaitu berani karena benar, takut karena salah, melaksanakan keadilan sosial, menyembah yang Esa, bekerja dan berkeputusan berdasarkan musyawarah mufakat, pengorbanan, mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi, dan sebagainya.
Di antara keenam bersaudara Prabu Sanghyang Borosngora dikaruniai kegagahan dan dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Ia tidak mempan senjata, tidak panas terkena api dan bepergian pun tidak perlu menapak di tanah atau di air.
Mencari Ilmu


“Untuk melihat tingkat kesaktian calon guru-gurunya, Borosngora sengaja mengajak mereka berduel satu lawan satu dan hasilnya Borosngora selalu menang. Akhirnya Borosngora mengembara ke Asia Barat melalui negara-negara India, Pakistan dan sebagainya hingga ia tiba di Padang Arafah Arab Saudi,” ujar Atong.
Menurut Atong, rute perjalanan Borosngora ini pernah diteliti oleh para ahli sejarah dan berdasarkan penelitian tersebut, ia memang pergi ke Padang Arafah di Arab Saudi. “Di sana, Borosngora bertemu Ali bin Abu Thalib yang merupakan khalifah Nabi Muhammad SAW yang juga berstatus menantu sekaligus keponakan Nabi. Borosngora kemudian dibawa ke Mekkah dan menjadi muslim,” katanya.
Dalam penelitian tersebut, Borosngora hidup antara tahun 600-700 Masehi, sama dengan Ali bin Abu Thalib, jadi pertemuan mereka memang menurut Atong, nyata terjadi. Setelah sekian lama berguru pada Ali, Borosngora diminta pulang ke negerinya, sebab Ali merasa ayah dan ibu Borosngora sudah merindukan anaknya. Borosngora sendiri menyatakan sudah ingin pulang, namun tidak berani bila belum bisa membawa air di dalam gayung yang bolong bagian dasarnya tersebut.
Dengan enteng Ali meminta agar Borosngora mengambil air zamzam sambil melafalkan doa. “Atas izin Tuhan, air tersebut tidak tumpah dan Borosngora bisa membawa air zamzam itu hingga tiba di Panjalu,” katanya. Ia juga memberikan cenderamata berupa pedang dan jubah bagi Borosngora dengan amanat agar Borosngora menyiarkan agama Islam di Panjalu.
Setiba di Panjalu, ayah Borosngora sudah tidak lagi menjadi raja tapi sudah menjadi begawan, sementara kedudukan raja diberikan kepada kakak Borosngora, yaitu Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II. Ayah Borosngora yang memang menunggu-nunggu kehadiran anaknya ketika melihat anaknya sudah pulang dengan membawa air di dalam canting yang bolong tanpa menumpahkan airnya sedikit pun, kemudian mengatakan pada Borosngora untuk membuat danau di daerah Legok Jambu.
“Borosngora kemudian membendung kawasan Legok Jambu dengan batu yang sampai sekarang masih bisa dilihat susunannya yang berupa batu-batu hitam seperti batu yang terdapat di Candi Borobudur, air zamzam itu ditumpahkannya di Legok Jambu dan sekarang jadilah Situ (Danau) Lengkong,” katanya.
Kemudian Borosngora membuat bendungan dan memindahkan kerajaan di tengah pulau yang berada dalam danau tersebut. Setelah bisa membendung danau dan membuat kerajaan di dalam pulau, Borosngora kemudian diangkat jadi raja Panjalu. Kakak Borosngora, kemudian pindah ke Gunung Tampomas Sumedang dan memerintah di sana, dan sama dengan ayahnya yang bijaksana, raja Tampomas ini juga bergelar Siliwangi.
Masuknya Islam
Sementara itu, Borosngora yang sudah memeluk Agama Islam kemudian memerintah kerajaannya dengan ajaran kearifan Islam masuk dalam Kerajaan Panjalu. “Karena titah raja adalah undang-undang, maka ketika Borosngora menganut Islam, rakyatnya pun menganut agama Islam,” katanya. Itulah sebabnya menurut Atong, kenapa orang Panjalu sangat bangga pada rasa kesundaan dan keislamannya.
“Kami sangat bangga pada rasa kesundaan dan keislaman kami karena raja kami dulu berguru langsung dari khalifah nabi dan membawa ke sini, jauh sebelum para pedagang dari Parsi mendarat di Indonesia dan para walisongo mengajarkan Islam dengan cara yang radikal,” katanya.
Hingga kini, pakaian Borosngora yang merupakan hadiah Ali bin Abu Thalib masih tersimpan di Bumi Alit, begitu juga dengan pedang berukuran panjang berbentuk lengkung dan berlafal Arab.
“Saya masih ingat tulisan dalam pedang itu berbahasa Arab, artinya pedang milik Ali,” kata Atong. Namun menurut Atong, saat ini tulisan di atas pedang sudah hilang karena tiap tahun pedang tersebut diasah, dicuci, dan dibersihkan.
Hingga kini, makam Prabu Borosngora sendiri tidak ditemukan, yang ada hanya makam putra pertamanya, yaitu Prabu Hariang Kancana. “Kalau seseorang bergelar Sanghyang, ia memang tidak meninggalkan jasad saat meninggal, kalau gelarnya Hariang, maka ia meninggalkan jasad,” ujar Atong memberi penjelasan.
Selama hidupnya, Borosngora ternyata tidak hanya memerintah Panjalu. Ia diketahui menjelajah beberapa tempat di Nusantara dan mendirikan kerajaan Islam dengan nama yang berbeda-beda. “Dari Panjalu, ia pindah ke Sukabumi dan mendirikan Kerajaan Jampang. Ia mengganti namanya menjadi Sanghyang Jampang Manggung. Kemudian pindah ke Gebang Pandeglang, Banten, dan mengubah namanya menjadi Prabu Sanghyang Gebang. Setelah Gebang besar, ia pindah ke Sumatera mendirikan kerajaan di sana dan kemudian menjelajah hingga ke Siak, kemudian ke Kalimantan,” katanya.
Tak lama di Kalimantan, ia kembali ke Jawa, yaitu ke Cilamaya dan mengganti namanya menjadi Syekh Syaifuloh, terakhir ia tinggal di Gunung Sembung dan mengganti namanya menjadi Syekh Abdul Iman. “Selama masa pengembaraannya, Borosngora selalu mendirikan kerajaan yang bernapaskan Islam sehingga bisa dikatakan tunas kerajaan Islam di nusantara tidak lain berkembang karena jasanya,” tutur Atong.
Desa Wisata


Dalam hal event wisata, para pemilik domba adu di Panjalu seringkali menggelar acara adu domba sebagai bagian dari kesenian dan hiburan masyarakat setempat. Kegiatan ini sangat menarik karena domba yang kekar, tampan dan berbulu lebat dipamerkan dan kemudian dipertontonkan kekuatannya di arena adu. Tontonan ini cukup aman karena ada wasit dan penjaga.